Menengok Kepemimpinan yang Ideal ala Kejawen
Ja’far
Shodiq
Pemimpin
jawa memang berbeda dengan yang lain. Setiap pimpinan memang mempunyai gaya dan
ciri khas sendiri. Setiap kondisi bawahanpun membutuhkan gaya kepemimpinan yang berlainan.Kategori kepernimpinan Jawa terbagi menjadi tiga hal, yakni, tingkatan
(l) nistha (2) madya, dan (3) utama (hina-tengah-utama.
Tentu
saja yang paling berkualitas adalah tingkat utama. Keutamaan pemimpin Jawa akan banyak disukai oleh rakyat. Manakala pimpinan setiap elemen bangsa memahami
keutamåan menjadi pemimpin, dia tidak akan jatuh pada kenistaan. Pimpinan
nistha adalah yang paling banyak dibenci orang.
Merebaknya
kasus KKN di kalangan pemimpin, mungkin sekali karena mereka kurang (tak) paham
tiga tingkatan kepemimpinan. Korupsi adalah barometer apakah pimpinan Jawa
termasuk nistha ataukah utama. Belum lagi ditambah dengan persoalan gratifikasi
seks, yang sering melilit para pejabat negara. Kalau ada yang tahu, mungkin
pimpinan kita baru sampai tingkatan madya (tengah). Bahkan, mungkin sekali ada
yang sengaja memilih tingkatan nistha (hina). Jika yang terakhir ini yang, menjadi pilihan, akibatnya tak jarang diantara
pemimpin kita yang berurusan dengan hukum.
Namun dalam hal yang paling hebat tentu yang terkategorikan utama. Pimpinan utama jauh lebih membahagiakan rakyat. Pimpinan tersebut akan disanjung-sanjung, dihormati, dan dijaga keselamatannva oleh rakyat. Ketika pimpinan tersebut turun ke bawah, meninjau ke desa-desa, yang termasuk utama tidak perlu dipagar betis, rakyat akan menjaga dengan sendirinya. Berbeda pimpinan yang jatuh ke lembah kenistaan, keamanan dirinya akan selalu terganggu. Setiap keluar rumah, pimpinan tersebut banyak mengundang masalah.
Menurut Babad Tanah Jawa, ada tiga kriteria seorang pemimpin bangsa dan negara. Yakni, mereka yang tergolong pemimpin nistha, madya, utama.
Pertama, pemimpin yang tergolong nistha, adalah mereka gila terhadap harta kekayaan (melikan arta). Pemimpin semacam ini, biasanya ingin menyunat hak-hak kekayaan rakyat dengan aneka dalih dan cara. Harta kekayaan rakyat diatur sedemikian rupa, sehingga tampak legal, kemudian dikuasai semaunya sendiri. Biasanya, pemimpin nistha tersebut banyak dalih (julig) dan alibi betubi-tubi.
Kedua, pemimpin tergolong madya, bercirikan dua hal. Yakni, (1) Pemimpin yang mau memberikan sebagian rezekinya kepada rakyat. Pemberian disertai niat tulus dan keikhlasan. Apalagi, kalau ada rakyat yang minta. Pimpinan madya, tak berusaha menggemukkan badan sendiri sementara rakyat di kanan kiri jatuh miskin tujuh turunan. Pemimpin madya, mau memberi sebagian harta tetapi tak boros. (2) Pimpinan yang mampu menghukum rakyat yang berbuat dosa dengan sikap adil. Dalam menghukum tetap memer hatikan HAM (nganggo kira-kira Ian watara). Jadi, pemimpin madya di negeri ini mustinya bersikap tak membedakan warga negara di depan hukum. Kalau masih ada orang yang kebal hukum dengan pura-pura sakit, sakit tak bisa disembuhkan, jelas tak adil..
Ketiga, pemimpin yang tergolong utama memiliki ciri bersikap berbudi bawaleksana. Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara ikhlas lahir batin. Mereka juga tak mengharapkan apa-apa dari rakyat, kecuali hanya pengabdian yang sesuai kewajibannya. Kecuali itu, mereka juga memiliki sikap teguh janji. Apa yang dijanjikan harus ditepati. Terlebih lagi janji kepada Tuhan, melalui sumpah jabatan. Jika sebelum menjadi pimpinan, pada saat kampanye mereka mengobral janji muluk-muluk.

Komentar
Posting Komentar